Dinar dan Sutriadi (2024) menunjukkan bahwa formalisasi WPR sering mandek akibat regulasi yang tumpang tindih. Karena itu, sinkronisasi kebijakan menjadi syarat mutlak agar WPR benar-benar memberi manfaat, bukan sekadar jargon legalitas di atas kertas.
Pemerintah Provinsi Jambi sudah mengambil langkah awal dengan menetapkan sejumlah blok WPR di Merangin dan daerah lain. Dokumen reklamasi dan pasca tambang tengah disiapkan untuk diajukan ke DPRD sebagai prasyarat izin.
Inisiatif ini patut diapresiasi, tetapi perlu dipastikan berlanjut ke tahap implementasi nyata—pendataan penambang, pengawasan berbasis teknologi, hingga pembinaan kelembagaan koperasi. Tanpa itu, WPR hanya akan menjadi regulasi tanpa daya, sementara PETI tetap merajalela.
Kesimpulannya, Jambi akan rugi besar jika terus membiarkan PETI berlangsung: kerugian fiskal, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial yang sulit dipulihkan.
Sebaliknya, Jambi akan untung nyata jika serius mengelola WPR: Rp1,1 triliun potensi ekonomi per tahun dapat dioptimalkan, rakyat memperoleh kepastian hukum, daerah mendapat tambahan fiskal, dan dana reklamasi tersedia untuk memperbaiki lingkungan.
WPR bukan sekadar legalisasi tambang rakyat, melainkan aset strategis untuk keluar dari jebakan PETI dan membangun masa depan hijau Jambi.***
*Pemerhati Kebijakan Publik
Daftar Pustaka
Nanang, D., Laurent, E. Z., Sabila, A. R., Rakhman, M. A., Yusuf, M., & Lega, M. (2025). Berebut lokal: Kontestasi kepentingan dalam tambang rakyat di Jambi dan Bangka Belitung, Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISIP), 14(2), 248–262.
Mochamad Dinar, & Ridwan Sutriadi. (2024). Ketidakselarasan kebijakan formalisasi pertambangan rakyat sebagai penghambat pembangunan wilayah. Applied Geo-mining and Metallurgy, 1(2).