Jambidalamberita.id - Provinsi Jambi paradoks pertambangan rakyat yang tak kunjung selesai. Di atas kertas, Jambi memiliki 96 Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan luas lebih dari 30 ribu hektare.
Namun di lapangan, praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) justru lebih dominan, merusak lingkungan, menimbulkan konflik sosial, dan menghilangkan potensi fiskal daerah.
Padahal, jika dikelola dengan baik, WPR dapat menjadi instrumen strategis untuk mentransformasi pertambangan rakyat menjadi kegiatan legal, produktif, dan berkelanjutan. Dalam kajian penulis Potensi manfaat ekonomi WPR Jambi (Rp1,1 triliun/tahun) dibandingkan dengan estimasi kerugian ekologis PETI (Rp1,5–2 triliun/tahun).
Jika dikelola dengan baik WPR Jambi berpotensi menghasilkan Rp1,1 triliun per tahun, dengan distribusi manfaat sekitar Rp710 miliar (65%) bagi masyarakat, Rp140 miliar (13%) untuk PAD, dan Rp50 miliar (5%) dialokasikan sebagai dana lingkungan dan reklamasi.
Dengan skema ini, WPR bukan hanya menyelamatkan dapur masyarakat, tetapi juga memperkuat fiskal daerah serta menyediakan instrumen pemulihan lingkungan.
Bandingkan dengan PETI. Aktivitas tambang liar itu memang memberi uang cepat, tetapi hampir seluruh keuntungan menguap di luar mekanisme resmi. Negara dan daerah kehilangan pajak serta retribusi, masyarakat hanya mendapat bagian kecil dengan risiko hukum besar, dan kerusakan lingkungan ditanggung bersama.
Kajian Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan, setiap hektare tambang emas tanpa izin menimbulkan kerugian ekologis sekitar Rp300–400 juta per tahun.
Jika PETI menguasai 5.000 hektare di Jambi, maka kerugian lingkungan bisa mencapai Rp1,5–2 triliun per tahun—angka yang justru lebih besar daripada potensi ekonomi legal dari WPR.
Lebih parah lagi, PETI membawa konsekuensi sosial. Sungai-sungai tercemar merkuri, lahan produktif hilang, dan konflik horizontal antarpenambang semakin sering terjadi.
Nanang et al. (2025) menegaskan bahwa konflik kepentingan dalam tambang rakyat di Jambi muncul akibat absennya tata kelola yang jelas dan tarik-menarik kepentingan antara masyarakat, elite lokal, dan pemilik modal.
PETI adalah lingkaran setan: menciptakan ekonomi semu, memperlebar ketimpangan, sekaligus mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Sebaliknya, WPR membuka jalan tengah yang lebih rasional. Dengan sistem izin yang sederhana, koperasi tambang rakyat bisa menjadi wadah kolektif untuk mengelola sumber daya secara legal.
Dinar dan Sutriadi (2024) menunjukkan bahwa formalisasi WPR sering mandek akibat regulasi yang tumpang tindih. Karena itu, sinkronisasi kebijakan menjadi syarat mutlak agar WPR benar-benar memberi manfaat, bukan sekadar jargon legalitas di atas kertas.
Pemerintah Provinsi Jambi sudah mengambil langkah awal dengan menetapkan sejumlah blok WPR di Merangin dan daerah lain. Dokumen reklamasi dan pasca tambang tengah disiapkan untuk diajukan ke DPRD sebagai prasyarat izin.
Inisiatif ini patut diapresiasi, tetapi perlu dipastikan berlanjut ke tahap implementasi nyata—pendataan penambang, pengawasan berbasis teknologi, hingga pembinaan kelembagaan koperasi. Tanpa itu, WPR hanya akan menjadi regulasi tanpa daya, sementara PETI tetap merajalela.