JambiDalamBerita.Id -Dunia medis kembali diguncang dengan kabar mengejutkan terkait dugaan tindakan pelecehan seksual berat yang dilakukan oleh seorang dokter muda.
Seorang dokter residen spesialis anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad), bernama Priguna Anugerah Pratama, tengah menghadapi proses hukum setelah diduga memperkosa tiga orang keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Peristiwa yang terjadi pada 18 Maret 2025 ini terbongkar setelah muncul laporan dari keluarga korban dan dilakukan investigasi awal. Berdasarkan informasi yang dihimpun, tersangka diduga menggunakan dalih pemeriksaan medis berupa cek darah untuk mendekati para korban.
Ironisnya, prosedur itu disalahgunakan dengan cara memberikan obat bius yang menyebabkan korban kehilangan kesadaran, sehingga pelaku leluasa melancarkan aksinya
Skema yang terstruktur dan menyimpang ini menimbulkan kemarahan publik dan mengundang perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, dr. Slamet Budiarto, secara tegas mengecam tindakan tersebut dan menyoroti lemahnya sistem pengawasan di lingkungan rumah sakit pendidikan.
“Seharusnya dalam setiap prosedur medis, khususnya yang melibatkan tindakan invasif atau penggunaan obat, harus dilakukan dalam pengawasan ketat dan tidak boleh seorang diri. Harus ada dokter senior, perawat, atau minimal rekan sejawat yang mendampingi,” ujar Slamet dalam konferensi pers di Kemayoran, Sabtu, 12 April 2025.
Ia juga mempertanyakan sumber obat-obatan yang digunakan pelaku dalam melakukan tindakannya. “Obat yang digunakan untuk membius pasien itu harus jelas asal-usulnya.
Apakah diambil dari instalasi farmasi rumah sakit atau ada celah dalam pengawasannya? Ini menyangkut keselamatan pasien, dan harus ada kontrol yang ketat,” tambahnya.
Lebih jauh, Slamet menyoroti kemungkinan adanya pelanggaran prosedur operasional standar (SOP) di rumah sakit tersebut. Menurutnya, bila SOP dilaksanakan dengan benar, maka kejadian tragis semacam ini tidak akan terjadi.
Ia menegaskan bahwa tidak hanya pelaku yang harus disanksi, tetapi juga pihak-pihak yang diduga lalai dalam melakukan pengawasan.
“Saya khawatir bukan hanya individu yang bersalah, tapi sistemnya juga lemah. Jangan sampai ada pembiaran, apalagi jika sudah diketahui sejak awal ada tindakan mencurigakan,” tegasnya.
IDI sendiri mengaku sangat kecewa dengan insiden ini karena mencoreng dunia kedokteran Indonesia. Slamet memastikan bahwa IDI akan mendukung penuh proses hukum agar kasus ini bisa ditangani secara transparan dan tuntas.
“Kami mendukung proses hukum secara menyeluruh. Jika terbukti bersalah, pelaku harus menerima hukuman yang setimpal sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Ini juga jadi pelajaran agar pengawasan di rumah sakit pendidikan diperketat,” pungkas Slamet.
Sementara itu, RSHS dan Universitas Padjadjaran belum memberikan keterangan resmi lebih lanjut. Kasus ini masih dalam tahap penyidikan oleh pihak berwajib dan mendapatkan atensi tinggi dari masyarakat luas.