Oleh. Agus Kurnia Berata Sakti, SH
Jambidalamberita.id-Belakangan ini, publik kembali dihadapkan pada wacana kontroversial: pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, tetapi dikembalikan ke tangan DPRD. Wacana ini menimbulkan tanda tanya besar—ada apa di balik usulan ini? Bukankah selama ini Pilkada langsung telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Yang membuat masyarakat semakin bertanya-tanya, usulan tersebut bukan datang dari individu atau kelompok biasa, tetapi justru dari kalangan elite: pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan sebagian pimpinan partai politik di DPR RI. Alasan yang dikemukakan adalah efisiensi anggaran—karena Pilkada langsung dianggap menelan biaya besar, baik dari sisi pemerintah maupun peserta pemilu, yaitu partai politik dan calon kepala daerah.
Namun, jika Pilkada dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tidak lagi terlibat langsung dalam memilih pemimpinnya. Memang benar DPRD adalah representasi masyarakat, tetapi apakah kepercayaan masyarakat terhadap DPRD masih utuh?
Faktanya, tak sedikit anggota DPRD saat ini justru lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, ketimbang memperjuangkan suara rakyat. Inilah yang memicu kekhawatiran: jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka loyalitasnya pun lebih besar kepada para legislator yang mengangkatnya, bukan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Ini berisiko membuka ruang kompromi politik yang jauh dari kepentingan rakyat.
Pilkada langsung memang mahal, tetapi rakyat punya peran nyata di dalamnya. Mereka tak hanya memilih, tetapi juga ikut mengawasi, terlibat dalam proses, bahkan menjadi bagian dari kontrol demokrasi. Ini adalah bentuk gotong royong demokratis yang tidak bisa tergantikan oleh sistem perwakilan semata.
Lebih dari itu, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, siapa yang bisa menjamin bahwa calon yang terpilih benar-benar mewakili kehendak rakyat? Jangan sampai sistem ini justru melahirkan pemimpin yang hanya menjadi "alat politik", bukan pelayan masyarakat. Bila itu yang terjadi, maka nilai-nilai demokrasi yang selama ini diperjuangkan bisa terkikis secara perlahan.
Sejarah bangsa ini telah mencatat: dari masa Orde Baru hingga lahirnya era Reformasi, Pilkada langsung merupakan buah perjuangan panjang untuk mewujudkan demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Pilar utama demokrasi ini diperkuat oleh Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Ini menegaskan prinsip one person, one vote, one value—hak pilih rakyat adalah bentuk penghargaan terhadap kesetaraan dan keadilan di hadapan hukum.
Mahkamah Konstitusi juga baru-baru ini menguatkan prinsip ini melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan tersebut menegaskan bahwa mulai 2029, pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung dan terpisah dari pemilu nasional. Ini merupakan tonggak penting dalam menjaga marwah demokrasi lokal.
Oleh karena itu, wacana mengembalikan Pilkada ke DPRD bukan hanya membingungkan rakyat, tetapi juga mencederai semangat reformasi. Yang perlu dilakukan saat ini bukan mengubah sistemnya, melainkan memperbaiki pelaksanaannya: perkuat regulasi kepemiluan, tata kelola penyelenggaraan yang efektif, serta sinergi antar lembaga seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Lebih dari itu, seluruh elemen masyarakat harus dilibatkan untuk memperkuat demokrasi yang partisipatif, akuntabel, dan adil. Pemerintah dan DPR seharusnya duduk bersama, mencari solusi atas berbagai kekurangan yang selama ini menjadi catatan dalam setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Karena sejatinya, demokrasi bukan soal efisiensi anggaran—tetapi tentang keberdayaan rakyat dalam menentukan masa depannya sendiri.